Mama, bunda. Delapan tahun lalu, aku geli sendiri ketika memikirkan panggilan apa yang cocok untuk menandai hubungan kita waktu itu. Pertemuan karena dicomblangi, berawal dari cinta yang guyonan, akhirnya jadi cinta yang sungguhan.
Kadang ingatan-ingatan kecil menggangguku ketika kamu tertidur disampingku hari ini. Mengapa waktu begitu bijaksana membiarkan kita terhanyut dalam kesengsaraan, dalam kesedihan yang melukai hingga ujung paling dalam. Tapi waktu juga selalu menuntun kita untuk menemukan jalan, melalui air mata, melalui doa, melalui obrolan-obrolan sederhana sesaat sebelum anak-anak tertidur pulas.
Apa kamu percaya ? aku tidak, namun sekarang lebih dari percaya. Perjalanan ini mungkin adalah dosa , adalah ketidaktentraman dengan penyelesaian yang paling indah. Kamu yang dulu banyak mantan, sedangkan aku tidak. Kamu yang penuh rasa tidak peduli, sedangkan aku sebaliknya. Apalagi masalah keselarasan, rasanya kita nyaris tidak sejalan.
Namun Tuhan adalah sosok yang tidak mampu kita bayangkan rencananya. Kini aku menjadi ayah, kamu jadi ibunya. Melalui dua malaikat kecil kita, DIA membawakan jawaban atas pertanyaanku yang selama ini membangunkanku ketika aku mimpi buruk. Dibalik Al-Quran yang kamu senandungkan diubun-ubunku ketika aku lupa dan jiwaku sakit. Setiap Firman-NYA berhembus melalui nafas kecilmu didalam telingaku yang merah padam, dan lantunan bahasa ibrani yang kamu bisikkan agar aku cepat tertidur lelap dengan hanyut kembali di heningnya bulan purnama.
Jadi, Mama atau bunda ? hehehe…
Sayang, aku bukan pujangga yang mampu melukiskan setiap kata indah untuk menyanjungmu. Bahwa kamu adalah rencana tuhan yang panjang , dan pelangi paling terang dalam masa laluku yang begitu gelap. Kamu adalah perempuan yang membuktikan aku telah jadi laki-laki sebenarnya. Kamu adalah lara sekaligus obat untukku. Kamu adalah bulan diantara malam lelahku dalam perjuangan. Kamu adalah, sayang.
Aku tidak akan pernah mampu membalas budi atas rasa sakitmu ketika melahirkan malaikat kecil kita. Aku hanya mampu memelukmu dengan sekeras aku mencintaimu. Aku akan menangis hingga pelupuk mataku membengkak, ketika kamu merasakan ada luka yang membuatmu terpuruk, dan aku adalah lelaki beruntung yang diberi kesempatan kedua untuk mencintai dan dicinta lagi, setelah sebelumnya hatiku harus mati karena orang tuaku gagal membuatku jadi anak di kedamaian keluarga.
Maafkan aku yang tidak pernah sempurna seperti laki-laki yang diinginkan almarhum bapak untuk menikah denganmu. Maafkan aku yang selalu menangis sambil kau peluk ketika beban yang datang rasanya hampir membunuhku. Maafkan aku, untuk keegoisan yang selama ini mampu kau musnahkan dengan senyuman cantikmu.
Terimakasih telah menjadi perempuan luar biasa yang mampu memberiku rumah dan sandaran. Terimakasih telah melahirkan anak-anak yang kelak memapahku ketika kakiku sudah terlalu lemah untuk berpijak.
Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka aku akan terus bersalah dan aku tidak mengharapkan ampunan.
Untuk istriku, Martha.
-RBKU-